Lebih dari satu dekade yang lalu, dunia perbisan mendapat
pukulan cukup telak dengan dibukanya keran angkutan udara oleh swasta.
Kebijakan ini membuat puluhan juta orang bisa menikmati perjalanan udara dengan
jauh lebih murah dan pelayanan jauh lebih baik. Okupansi penumpang pesawat
udara melonjak hingga belasan kali lipat dibanding beberapa periode sebelumnya.
Transportasi udara yang dulunya hanya bisa dinikmati warga negara kelas atas
bertransformasi menjadi angkutan masal yang ramah dikantong, jika boleh saya
mengutip tagline salah satu maskapai LCC, Now everyone can fly! dan menurut
salah satu maskapai yang kini memiliki ratusan pesawat dan ribuan penerbangan
setiap bulannya : We make people fly.
Sumber Gambar: www.ramadan.tempo.co |
Kebijakan tersebut, bagai pisau bermata dua, disatu sisi
mengurangi beban jalur Pantura yang saat itu mencapai density puncak, disatu
sisi mengambil porsi penumpang bus malam yang hilir mudik dijalur sutera ini.
Sejak saat itu, belasan (mungkin ratusan) perusahaan otobus harus berjuang
lebih keras agar bisa survive, mereka tidak hanya bertarung dengan sesama
mereka namun juga bertarung dengan belasan maskapai baru yang menawarkan
pengalaman bepergian lewat udara yang lebih Cepat, Aman, dan Nyaman.
Disitulah kesabaran, ketekunan, keahlian, dedikasi dan
keimanan pengusaha bus di uji agar mereka dan ratusan karyawannya bisa tetap
bertahan. Kini, arah angin mulai beralih, Tuhan seakan menjawab doa para awak
dan pengusaha bus malam, tatanan ekonomi berubah, regulasi penerbangan mulai
diperketat, berbagai surcharge membuat harga tiket tidak semurah dulu lagi,
walaupun untuk beberapa kondisi masih tetap lebih murah dari pada tiket bus.
Sumber Gambar: log.viva.co.id |
Kembali ke Pantura, salah satu trayek yang cenderung
bertahan dari gempuran penerbangan adalah trayek Jawa Tengah, pengecualian
untuk Yogyakarta, nanti saya jelaskan tersendiri. Jawa tengah, adalah rute bus
malam ideal, jaraknya berkisar 8 jam, artinya penumpang bisa tiba di tujuan
sebelum pagi, dan durasi perjalanan ini tidak mengganggu jam biologis maupun
fisik penumpang secara berlebihan. jarak demikian, bila ditempuh dengan pesawat
udara hanya akan memakan waktu kurang dari 1 jam. Mengingat bahwa biaya
operasional penerbangan untuk durasi dibawah 1 jam hanya berselisih 10-20% dengan
durasi 2 jam, maka maskapai tidak bisa menurunkan tiket lebih murah lagi.
terbang antara 1 dan 2 jam bedanya di avtur tidak terlalu signifikan, karena
ketika sudah sampai di cruising altitude, konsumsi Avtur pesawat sangat
ekonomis.
Satu lagi yang terpenting, yang membuat Bus Malam di Jawa
Tengah (ke Jakarta) masih lebih imun adalah infrastruktur yang memadai, Pantura
sebagai urat nadi jalan raya memagang peranan penting disini : jalan Lurus dan
berkontur rata, yang hampir mustahil dimiliki wilayah lain di Indonesia.
Saat ini, Pantura kembali menghadapi goncangan, yakni
dibangunnya Tol TransJawa. Lupakan Tol Bakrie (Ruas Kanci - Pajegan) yang
amburadul dan sedang dibangun ulang, dalam waktu dekat pemerintah akan
meresmikan ruas tol Cikapali (Cikopo Palimanan sepanjang 116 Km), hal ini
berpotensi membuat perubahan besar untuk Bus Malam yang selama ini melintasi
Pantura. Apakah itu perubahan yang positif atau negatif? Mari kita diskusikan.
Sumber Gambar: www.suararakyatindonesia.org |
Efeknya yang akan terasa yakni jarak tempuh yang semakin
singkat. Titik2 kemacetan dari Jomin hingga brebes bisa dihindari, hal ini
setidaknya akan menghemat waktu tempuh antara 1 hingga 2 jam, bahkan lebih.
Kedua, Konsumsi bahan bakar akan lebih efisien karena kendaraan dapat melaju
konstan. Perubahan lainnya, Rest area mungkin akan bergeser dari Pantura
(semula di daerah Ciasem - Pamanukan) mungkin akan bergeser ke area sekitar
Cirebon, atau justru di rest area tol itu sendiri.
Bagaimana menurut teman-teman? apakah kehadiran tol ini baik
atau buruk bagi pecinta bus? apakah harga tiket bus malam akan turun dengan
keberadaannya? Apakaj jumlah penumpang bus akan naik dengan kondisi baru ini?
.
.