Bus Menanjak, Sopir pun Gulung Celananya
Tahun 1954 Pemerintah Kabupaten Banyumas membangun terminal bus di Jalan Sekolah (sekarang Jl. Gatot Soebroto – Red). Masyarakat Purwokerto menyebutnya sebagai koplak bus. Pembangunannya menghabiskan biaya Rp 430.000. Dana ini diperoleh dari hasil sewa kios dan los Pasar Wage.
Dengan adanya terminal tersebut, di Purwokerto bermunculan perusahaan otobus (PO) yang melayani jarak pendek. Sedangkan trayek jarak jauh seperti jurusan Bandung dan Jakarta, kebanyakan dilayani PO besar dari luar kota, seperti PO Moedah dan PO Anggrek Cempaka.
PO yang pernah hidup di Purwokerto, antara lain PO Abadi di Jalan Masjid
yang melayani jurusan Purwokerto – Purbalingga – Bobotsari dan
Purwokerto – Cilacap. Di Jalan Bank (sekarang RA Wiriaatmadja – Red)
ada PO Indah yang melayani jurusan Tegal.
Di Jalan Kejawar (sekarang Komisaris Bambang Soeprapto – Red) ada PO Tepat yang melayani Purwokerto – Semarang. Saat itu, untuk naik bus ini harus pesan tiket sehari sebelumnya. Bus ini berangkat dari garasi pada pukul 04.00 dan sampai semarang sekitar pukul 11.00 – 12.00.
Ada juga bus Pembangun dan PO Wasis yang garasinya di Jalan Pereng
(sekarang Slamet Riyadi). PO Wasis melayani jurusan Yogya bersama PO
Mulyo. PO lainnya adalah PO Lie Soen, garasinya di Sokaraja melayani
rute Purwokerto – Banyumas. Bus ini kemudian ganti nama menjadi
Mutiara. Di jurusan Banyumas ini beroperasi pula PO Nara.
PO lainnya adalah Koen Bus Service (KBS) melayani Purwokerto – Purbalingga dan sekitarnya. Antara lain, Purwokerto – Bobotsari (12km utara Purwbalingga) dan Purwokerto – Purwareja Klampok di Banjarnegara. PO ini bermarkas di Purbalingga.
PO lainnya adalah Kalitangi (jurusan Tegal), PO Djakoen (Jatilawang, Wangon), PO Utama (Cilacap), PO Limex (Wonosobo), PO Kalitangi dan YS (Tegal). Bahkan penyanyi ballada Ebiet G Ade juga pernah memiliki bus Melati Indah yang melayani trayek Purwokerto – Wonosobo – Semarang.
Menggulung Celana
Karena keberadaan terminal di dalam kota, rute bus juga menyusuri jalan-jalan di dalam kota. Untuk jurusan Cilacap, Bandung, dan Jakarta rutenya menyusuri Jl. Sekolah – Jl. Merdeka – Jl. Raya (Soedirman) langsung ke arah barat.
Sedangkan untuk jurusan timur (Purbalingga, Semarang, dan Yogya) menyusuri Jl. Kejawar – Jl. Sekolah Tionghoa – Jl. Raya, langusng ke arah timur. Di dalam kota dibuat beberapa pemberhentian bus, termasuk berhenti pula di koplak dokar dekat Stasiun Timur.
Armada bus yang digunakan kebanyakan juga bus tua yang kemampuan mesinnya sudah tidak maksimal. Bus yang melewati tanjakan Krumput, radiatornya sering mengepul dan harus ditambahi air pendingin. Mesin berada di samping sopir, saat jalan menanjak pak sopir pun harus menggulung celananya.
Para penumpang khusuk berdoa agar bus kuat melewati tanjakan. Salah satu kenek berlarian di belakang membawa kayu untuk mengganjal roda kalau-kalau bus mlorot alias mundur karena tak kuat menanjak. Selain tanjakan Krumput di Banyumas, tanjakan lain yang dianggap berat adalah Kledung untuk jurusan Semarang.
Bus-bus perintis angkutan di Purwokerto itu, kerangkanya terbuat dari kayu dan pintu masuk dari bagian belakang. Kini armada yang berjaya di tahun 1960-an itu tinggal kenangan. Hanya ada satu dua nama yang masih bertahan di tengah kemajuan transportasi. Selama 50 tahun terakhir ini, terminal Purwokerto juga sudah berpindah dua kali ke pinggir kota. (75)
(Sumber : Suara Banyumas, 26 Desember 2009)
Tahun 1954 Pemerintah Kabupaten Banyumas membangun terminal bus di Jalan Sekolah (sekarang Jl. Gatot Soebroto – Red). Masyarakat Purwokerto menyebutnya sebagai koplak bus. Pembangunannya menghabiskan biaya Rp 430.000. Dana ini diperoleh dari hasil sewa kios dan los Pasar Wage.
Dengan adanya terminal tersebut, di Purwokerto bermunculan perusahaan otobus (PO) yang melayani jarak pendek. Sedangkan trayek jarak jauh seperti jurusan Bandung dan Jakarta, kebanyakan dilayani PO besar dari luar kota, seperti PO Moedah dan PO Anggrek Cempaka.
Sumber :www.bismania.com |
Di Jalan Kejawar (sekarang Komisaris Bambang Soeprapto – Red) ada PO Tepat yang melayani Purwokerto – Semarang. Saat itu, untuk naik bus ini harus pesan tiket sehari sebelumnya. Bus ini berangkat dari garasi pada pukul 04.00 dan sampai semarang sekitar pukul 11.00 – 12.00.
Sumber gambar : www.bismania.com |
PO lainnya adalah Koen Bus Service (KBS) melayani Purwokerto – Purbalingga dan sekitarnya. Antara lain, Purwokerto – Bobotsari (12km utara Purwbalingga) dan Purwokerto – Purwareja Klampok di Banjarnegara. PO ini bermarkas di Purbalingga.
PO lainnya adalah Kalitangi (jurusan Tegal), PO Djakoen (Jatilawang, Wangon), PO Utama (Cilacap), PO Limex (Wonosobo), PO Kalitangi dan YS (Tegal). Bahkan penyanyi ballada Ebiet G Ade juga pernah memiliki bus Melati Indah yang melayani trayek Purwokerto – Wonosobo – Semarang.
Menggulung Celana
Karena keberadaan terminal di dalam kota, rute bus juga menyusuri jalan-jalan di dalam kota. Untuk jurusan Cilacap, Bandung, dan Jakarta rutenya menyusuri Jl. Sekolah – Jl. Merdeka – Jl. Raya (Soedirman) langsung ke arah barat.
Sedangkan untuk jurusan timur (Purbalingga, Semarang, dan Yogya) menyusuri Jl. Kejawar – Jl. Sekolah Tionghoa – Jl. Raya, langusng ke arah timur. Di dalam kota dibuat beberapa pemberhentian bus, termasuk berhenti pula di koplak dokar dekat Stasiun Timur.
Armada bus yang digunakan kebanyakan juga bus tua yang kemampuan mesinnya sudah tidak maksimal. Bus yang melewati tanjakan Krumput, radiatornya sering mengepul dan harus ditambahi air pendingin. Mesin berada di samping sopir, saat jalan menanjak pak sopir pun harus menggulung celananya.
Para penumpang khusuk berdoa agar bus kuat melewati tanjakan. Salah satu kenek berlarian di belakang membawa kayu untuk mengganjal roda kalau-kalau bus mlorot alias mundur karena tak kuat menanjak. Selain tanjakan Krumput di Banyumas, tanjakan lain yang dianggap berat adalah Kledung untuk jurusan Semarang.
Bus-bus perintis angkutan di Purwokerto itu, kerangkanya terbuat dari kayu dan pintu masuk dari bagian belakang. Kini armada yang berjaya di tahun 1960-an itu tinggal kenangan. Hanya ada satu dua nama yang masih bertahan di tengah kemajuan transportasi. Selama 50 tahun terakhir ini, terminal Purwokerto juga sudah berpindah dua kali ke pinggir kota. (75)
(Sumber : Suara Banyumas, 26 Desember 2009)
.
.